Aku sebut ini jalan untuk mengenang kalian *FOSPASTERZ
SEKEJAP!
selamat
berakhir pekan dan menikmati waktu bersama keluarga.
Senang
sekali rasa hatiku pagi ini mendapat giliran menyapu halamn dari Ibu. Jarang
sekali wanitaku ini mempercayakan kebersihan rumah kepadaku, gadis beranjak
dewasa usia 17 tahun, Rima.
Pukul
06:30 rumah sudah sepi. Dimana keberadaan ibu? Aku hanya melihat mbah putri
yang duduk di kursi teras sambil menyeruput segelas teh manis buatannya
sendiri. Mataku liar mencari kedalam rumah juga ke halaman atas. Ah ternyata
ibu sedang pergi ke pasar. Itu jawaban yang aku dapat dari mbah putri yang
ternyata memperhatikan kegelisahanku sedari tadi.
Kemudian
aku mengambil sapu ijuk yang terbuat dari serabut kelapa. Dianyam dengan tali
raffia berwarna biru. Ditambahkan sebatang kayu yang tingginya hampir sama
denganku sebagai pegangannya. Aku pasang headset di kedua telinga, siap sudah
aku membersihkan rumah sembari bersenandung mendengarkan lagu 311 berjudul Love
Song. Lagu favoritku!
Belum
juga aku menyelesaikan setengah dari pekerjaan membersihkan rumah, deruman
motor matik sudah mengalihkan fokusku.
“Ayo kita pergi.”
Kemudian dia berlalu melewatiku
dan justru mencium tangan mbah putri yang sedang melamun.
“pergi kemana?”
“ke rumahku dong.”
“sekarang? Bukannya kita
janjiannya jam 09:00? Ini masih jam 07:15.”
“iya biar cepat selesai. Jadi
hasil yang didapatkan bisa lebih banyak. Aku sudah bilang ke mama sama bapak perihal
ini dan mereka menyetujui. Cepat ganti baju dan kita pergi. Aku tunggu.”
Tanpa jeda lelaki menyebalkna
ini terus saja berceloteh. Benar-benar membuatku bingung. Masa iya aku harus
pergi tanpa izin dulu kepada ibu, nanti aku bisa dimarahi jika sepulangnya dari
pasar justru aku tidak ada di rumah. Menyebalkan!
“tapi aku belum izin sama ibu.”
“sudahlaah. Ibu pasti percaya.
Kan kamu perginya sama aku. Iyakan mbah?”
Aihhhh alih-alih dia justru
mencuri perhatian mbah.
“iya apergi saja, nanti mbah yang
beritahu ibumu. Kasian yuda lama menunggu.”
Aaaarrrgh rasanya
ingin aku garuk-garuk tembok halaman tetangga. Kenapa kedua orang ini sepertinya
bersekongkol untuk menyuruhku pergi.
‘baiklah mbah. Nanti izinkan pada
ibu ya.”
Dan mbah putri mengangguk pelan.
Laki-laki
menyebalkan ini namanya Yuda, teman sedari aku baru bisa merangkak hingga
sekarang kelas tiga SMA. Masih kecil sekali bukan? Alasan dia seenaknya begitu
terhadap aku ya karena dia sudah menganggap rumahku adalah rumahnya. Mbahku
adalah mbahnya. Orang tuaku adalah orang tuanya. Menapaki usia 17 tahun sudah
tentu dia semakin seenaknya. Huh kesal.
Yuda
berperawakn tinggi dan berisi. Tampangnya lumayan. Tetapi setampan apapun
wajahnya, aku tidak akn tertarik! Kulitnya sawo matang, suka olahrag, pintar
memainan harmonica dan idaman adik kelas. Bagian ini adalah paling menyebalkan
ketika pulang sekolah namanya selalu dielu-elukan oleh adik-adik tingkat
perempuan yang alaynya aduhai gak ketulungan.
Sampailah
aku di rumahnya. Astaga Tuhan. Rumahnya tidak kalah sepi dengan rumahku. Kemana
perginya mamak dan bapak yuda? Yang aku temui hanya si keriting Tia. Adik
perempuannya yang baru bangun tidur.
“ini peralatannya. Ada kamera,
tripot, baju ganti, betadin, kapas, kain, dan handuk. Sekarang kita tinggal
tunggu Cigo datang saja. katanya dia sedang dalam perjalanan. Jadi tunggu
saja.”
Selama dia menjelaskan aku hanya
diam saja sembari menatapnya sinis.
“sekarang kita ke lantai dua.
Oke.”
Dia menyeret paksa dan manyuruhku
menaiki tangga.
“ini kamar mandi yang nanati akan
kita gunakan. Kemudian di lantai tiga kita akan melihat matahari sehabis hujan.
Bagaimana. Lengkap kan sesuai hasil rapat tadi malam?”
“iya sesuai.” Aku menjawab masih
tanpa semangat.
Aku berkeliling di
lantai dua rumahnya. Ternyata dia benar-benar mengerjakan hasil rapat tadi
malam. Pagi ini kami akan melakukan syuting film pendek demi kepentingan
kegiatan akhir tahunan siswa kelas tiga. Sengaja dipercepat agar nantinya tidak
menguras waktu dan pikiran yang seharusnya digunakan untuk belajar dan latihan menjawab
soal ujian nasional.
“assalamualaikum.”
Cigo menghampiri kami yang sedang membisu.
“waalaikumussalam. Nah
akhirnya datang juga kamu cig. Ayo ganti baju terus baca naskah. Kita harus
syuting secepatnya. Aku sudah tidak sabar.” Celoteh Yuda tanpa tarikan nafas.
“ok, Yud. Lets go.”
Aku
semakin pusing melihat tingkah dua orang ini. benar-benar tidak seperti biasanya.
Persiapan
sudah selesai. Sepakatlah hanya kami bertiga yang akan mengambil gambar.
Sementara teman-teman lain yang akan membantu akan datang terlambat karena
urusan masing-masing.
Pengambilan
gambar dimulai. Scene 1, 2, 3 dan beberapa adegan kecil berjalan lancar hingga
pukul 09:30. Tetapi rasanya aku lelah sekali. Yuda dan Cigo selalu tertawa
terbahak-bahak ketika take gambar.
Tertawa terbahak-bahak dan lama sekali. Aku perlu mengomel dulu baru mereka akan
berhenti. Aku hanya khawatir saja. Bukankah teretwa berlebihan itu akan ……. Ah
sudahlah. Itu hanya mitos.
“ayo lanjut lagi jangan tertawa
terus.” Aku menggerutu kesal.
“iya ri, tenang. Semuanya akan
selesai hari ini kok. Acting kami bagus dan sesuai scenario yang kamu buat
kok.” Yuda meyakinkan aku
“iya udah. Kalau mau ketawa,
ketwa dululah sana.” Aku merajuk
Adegan berikutnya
dilanjutkan. Adegannya adalah Cigo berpura-pura muntah darah didalam kamar
mandi dan Yuda menolong. Drama ala televise sekali. tetapi aku akui akting
mereka bagus. Benar-benar menjiwai orang yang berpenyakitan. Adegan demi adegan
sudah mereka lakukan. Karena sama-sama kelelahan maka kami istirhat sejenak.
Sembari menikmati jajanan
kering dan segelas syrup dingin buatan yuda. Teman-teman yang lain datang, membantu
mengedit video dan mengomentari akting mereka. Tetapi kunjungan mereka tidak
lama. Kegiatan les dibimbingan belajar harus memaksa mereka meninggalkan kami
bertiga lagi.
Kami bangkit untuk
melanjutkan pengambilan gambar. Adegan ini adalah adegan terakhir. Adegannya
tidak ada di skenario yang aku tuliskan. Ini murni keinginan yuda dan cigo setelah
mereka berdiskusi sabtu malam kemarin.
Tetapi semesta tidak mendukung.
Tiba-tiba saja hujan mengguyur. Ini bukan hujan yang deras dan berhenti dalam
waktu singkat. Tetapi hujan yang kecil dan lama. Keadaan ini cukup membuat kami resah. Karena kami ingin sekali
merampungkan kegiatan pengambilan gambar pada hari ini.
Seratus dua puluh
menit berlalu. Aku sempat tertidur di sofa setelah lelah tertawa melihat album
yan tergeletak di ruang keluarga. Yuda dan Cigo juga begitu. Tertawa
terbahak-bahak hingga mata kami berair.
Bangun dari tidur
yang sebentar itu, hujan tidak kunjung reda. Waktu sudah menunjukkan pukul
03:00. Tetiba saja aku ingin sekali pulang. Merengek mengadu pada Yuda untuk
mengantarkan aku pulang.
“pulang yok.”
“iya tunggu hujannya reda. Kamu
lapar?”
Aku menggeleng
“terus apa? Mau apa biar aku
ambilkan di toko?”
“mau pulang. Ayo antarkan pulang.
Nanti ibu marah.” Rengekku padanya
“iya itu masih hujan. Sebentar lagi
ya.”
Aku menggeleng dan
merajuk juga akhirnya. Entah kenapa aku benar-benar ingin pulang. Aku takut ibu
marah padaku.
“ya sudah. Ayo ku antarkan. Tapi tidak apa kena hujan sedikit?”
“iya”
Yuda
mengambil motor yang tersimpan di garasi. Kemudian memanggil dan mengantarkan
aku pulang. Dalam perjalanan tercium aroma tidak sedap. Ternyata Yuda belum
mandi. Astaga aromanya menyengat sekali. aku tidak enggan memukul pundaknya dan
memarahinya sepanjang jalan. Peduli apa dia mau marah atau tidak. Ini hanya tanda
kepedulian seorang teman terhadap temannya. Ternyata Yuda tidak marah padaku, dia
justru tidak lepas tertawa sepanjang jalan melihat aku terus menutup hidung.
Alhamdulillah.
Yuda mengantarkan aku dengan selamat sampai di depan gerbang. Tanpa banyak komentar
dia berpamitan kepada mbah putrid yang ternyata sudah duduk di sofa
kesayangnnya.
“mbah, Yuda pamit. Rima selamat sampai
rumah, Mbah.” Teriaknya tanpa mempedulikan tetangga yang sedang tidur siang.
“iya. hati-hati pulangnya.” Pesan
mbah putri sambil melambaikan tangan.
Aku masuk kamar dan
menghempaskan diri di atas kasur. Kemudian terlelap.
Oo
Aku
terperanjat kemudian terbangun. Jendela dengan posisi sebelah timur cukup membuat
aku bingung. Aku kira ini sudah pukul berapa. Aku kira masih ada di rumah yuda,
ternyata sudah dikamarku sendiri. Ku lirik jam bergambar kepala bebek, waktu
sudah menujukkan pukul 04:45. Kubuka pintu kamar, kemudian berkeliling rumah
mencari matahari. Itu dia mataharinya! matahari senja sehabis hujan. Indah nian
ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa ini.
Aku
bergegas kembali ke kamar dan sibuk merogoh tas untuk mencari Handphone ku. Aku segera mengirimi pesan
singkat ke Yuda.
To: Yudha
Ini matahari yang kamu
maksud?
From: Yudha
Iya.. tapi tunggu sekitar 15
menit lagi. Pasti sempurna bagusnya
To: Yudha
Iya ya bagus. Kamu hati-hati
nanti ambil gambarnya ya.
From: Yudha
Siap bos. Hasilnya gak bakal
mengecewakan kok.
To: Yudha
Tapi, ganti dulu bajunya
tuh. Bau tauuuu :p
Pesan
singkat yang biasanya terbalas kurang dari lima menit justru tidak terbalas
lagi. Dia tidak pernah membiarkanku menunggu selama ini. Mungkin Yuda dan Cigho
sedang bersiap-siap, atau sedang menyiapkan kamera, atau juga sedang membaca
skenaio. Ah entahlah tetiba hatiku resah.
Keresahann
hati ini membuatku tidak mengacuhkan panggilan ibu. Ibu menghampiri dan meletakkan
handuk di atas kasur.
“mandi dulu sudah sore. Nanti lagi main hapenya.”
“iya bu.” Jawabku sembari bergegas menuju kamar
mandi. Tetapi lampu tiba-tiba padam lagi. Aku mengacuhkannya.
“mungkin PLN sedang memperbaiki jaringan yang
rusak.” Fikirku begitu
Sepuluh
menit berlalu aku masuk kamar lagi dengan badan yang sudah bersih dan harum.
Aku menilik hape dan ternyata banyak sekali panggilan tidak terjawab. Pesan
singkat bertubi-tubi datang. Isinya kurang lebih sama. Menanyakan keberadannku
lagi dimana? Kamu selamat, kan? Kamu luka, Ri? Ri, kamu dimana?
Spontan
aku terhenyak. Ada apa ini. jelas-jelas aku ada di rumah dan tidak terluka
barang sedikitpun. Ada apa dengan teman-temanku.
Belum
selesai aku membuka semua pesan singkat dari teman-teman, telepon datang bersambut.
Aku tidak mengangkatnya. Aku takut. Sangat takut. Ada apa ini? apa aku sudah melakukan
sesuatu dan mengakibatkan sesuatu. Sungguh aku menjauh dari handphone dan duduk lemas. Bukannya
berhenti, telepon dari temna-teman kelas justru semakin banyak. Satu orang bisa
mengirimi aku tiga sampai empat pesan
singkat. Sekarang justru lebih kea rah emosi.
Ri, dimana? Balas!!
Rima!!
Ri, sekarang kita harus ke rumah sakit.
Apalagi
ini. siapa yang sakit? Siapa yang masuk rumah sakit? Benar-benar rasanya
nyaliku menciut dan jantungku berdegup kencang sekali. oh Tuhan ada apa ini.
Segera
aku menghubungi Cigo. Tetapi tidak ada jawaban. Aku memberanikan diri
menghubungi Ken. Pasanganku dalam membuat skenario film kelas ini
Tuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuuut tuuuuuuuuuuut
Lama
sekali telponku baru diangkatnya
“halo, Ri? Kamu dimana?”
“saya di rumah. Di kamar. Ada apa semuanya mencari
saya?” tanyaku pelan pada ken
“astaga Rima syukurlah. Saya kira kamu juga ikut
terluka”
“ada apa, Ken. Saya takut sekali. Ada apa sebenarnya?.”
“Ri, yuda ri.”
“yudha? Iya tadi yudha lagi ambil adegan matahari
setelah hujan samam ci..”
“Yuda kesetrum dan sekarang masuk rumah sakit.
Seluruh tubuhnya luka bakar. Dia jatuh dari lantai tiga. Rima kamu gak tahu?”
Dadaku sesak. Tubuhku gemetaran. Aku tidak percaya
dengan apa yang baru saja aku dengar. Sepuluh menit yang lalu aku baru saja smsan sama dia. Mana mungkin sekarang
dia sudah terbaring bak ayam terpanggang di rumah sakit
‘ken, jangan bercanda. Sepuluh menit yang lalu aku
baru saja smsn dengan dia.’
‘iya kejadiannya emamng barusan, Ri. Kamu tahu lampu
yang padam sekitar sepuluh menit yang lalu kan? Di rumahmu juga pasti padam
donk, itu karena Yuda tersengat listrik, Rima.”
“ahhhh ….” Aku membatu di dalam kamar
“mana Cigo? Bagaimana keadaan Cigo? Dia selamat kan,
Ken?”
“cigo selamat. Untung saja dia bisa melompati tangga
itu dengan sigap. Baru saja dia sampai di bawah, gardu listrik di rumah yuda
meledak.” Jelas Ken tanpa sela dan terdengar sangat khawatir.
“Rima, sehabis magrib kita ke rumah sakit. Siap-siap
aku jemput kamu.”
“tapi ken aku takut. Aku yang bersama dia sedari
pagi. Aku pulang diantarkan oleh Yudha. Mana mungkin sekarang dia sudah
terbaring kaku di rumah skait. Mana mungkin ken.” Aku terisak
“iya aku tahu. Cigo sudah menghubungiku tadi. Kita hadapi
bersama apa yang akan terjadi nanti. Berdoalah Rima. Semoga Yuda selamat.”
“ken tapi………”
Dan
sambungan telepon terputus.
Sungguh
rasanya aku ingin menangis kencang. Tetapi air mataku enggan juga menetes.
Tuhan. Apa aku sedang bermimpi. Tuhan? Jawab aku Tuhan!! Apa aku akan di tuntut
oleh orang tuanya. Aku adalah penulis skenario itu. Tuhan dimana engkau. Tolong
aku Tuhan. Tuhaaaaaaaaaaan!!
Ba’da
magrib kami semua sudah ramai berkumpul di depan ruang UGD. Terlihat mamak dan
bapak Yuda yang sedang berpelukan saling menguatkan. Di sana juga terlihat si
Tia yang sedari pagi menemaniku mengambil gambar kedua anak ini. Lutuku
melemah. Sanggupkah aku maju menghadapi mereka dan meminta maaf atas semua
kejadian ini.
Pandanganku
tidak lepas dari pemandangan haru itu. Satu per satu keluarganya berdatangan
dan tidak mengacuhkan keberadaan kami. Yang terdengar hanya teriakan histeris
dan tangisan pilu.
Apa?
Apa yang terjadi dengan tubuhnya? Bagaimana keadaannya?
Ketika
kami sedang saling menguatkan dan menenangkan yang sedang menangis. Tetiba
bapak yuda datang menghampiri
“yuda sudah sadar. Kalian masuk lah. Tetapi janji
tidak ada yang boleh menangis. Kalian harus tersenyum. Janji sama bapak jangan
ada yang menangis. Kita semua harus tersenyum melihat keadaan dia.”
Kami
mengangguk pertanda mengerti. Kami saling menghapus air mata yang masih tersisa
di pelupuk mata. Laki-laki dan perempuan sama sedih dan terkejutnya atas kejadian
ini. Semua terlihat dari sorot mata mereka.
Lalu
seorang perawat berperawakan putih, tinggi , dan bersih menuntun kami. Satu
ruangan tertutup gorden berwarna putih. Dibukanya pelan gorden itu dan Tuhan!!
Tubuh
itu tidak lagi terbalut busana. Hany kain batik panjang yang dipegang oleh
suster sebagai penutupnya. Dari bagian yang tidak tertutup kain bisa terlihat
kulit itu seperti kulit ayam bakar nan lezat. Badannya. Lengannya. Tangannya. Kaki,
paha, punggung, dan mukanya terkena luka
bakar.
TUHAN!!
Mataku
panas. Aku tidak sanggup. Aku menangis dan membalikkan badan. Bapaknya menahan
tubuhku. Tia mendekap aku begitu erat.
“mbak, jangan nangis. Senyum mbak. Senyum.”
Aku
mengusap cepat air mataku dan membungkam mulutku sendiri. Aku tidak kuasa menyaksikan
ini. melihat teman yang bersamaku sedari pagi, tertawa bersama, menjemput dan mengantarkan
aku pulang, sekarang seperti ini. Air
mataku deras mengucur membasahi pipi. Aku usap terus dan terus. Aku bersiap membalik
badan lagi untuk menatap matanya. Semoga aku bisa.
Dari
balik kain batik panjang itu, dia mengeluarkan lengan kirinya dengan pelan. Sangat
pelan. Karena tubuh itu kaku, tidak banyak pergerakan yang bisa dia lakukan.
Kami menunggu apa yang akan dia lakukan.
Jari-jari
itu dia kepal, mengacungi kami jepol sembari tersenyum. Sontak kami semua menjerit
menangis dan menunduk.
Sekejap
Tuhan ingin, sekejap pula semua terjadi!
Comments
Post a Comment