Aku ternyata memeluk bayanganmu ya?
Aku ternyata
memeluk bayanganmu ya?
Rerumputan
masih berusaha menahan keras derasnya air hujan yang jatuh. Tertimpa oleh
ribuan butir tetes air. Mereka tidak sendiri. Rumput itu berjuang bersama
melawan hujan. Hujan juga datang bersama dan menyatu menyerbu dunia untuk
membasahi tanah-tanah kering dipelataran parkiran sekolah.
Aku masih berdiri sendiri. Seisi
kelas belum ada yang datang. Hujan tentu adalah alasan utama keterlambatan
mereka. Aku? Sedari tadi seketika sadar langit meredup, sudah mempersiapkan
diri sesegera mungkin untuk berangkat. Memasukkan selembar roti berisi selai
blueberry dan meneguk susu hangat buatan ibu. Bergegas berangkat. Lebih baik datang lebih
pagi daripada harus terlambat memulai pelajaran.
Nikmat aku memperhatikan satu per
satu teman-teman yang datang, lengkap dengan segala perbedaan mereka. Ada
yang datang berjalan kaki sembari membawa payung kecil yang hanya mampu menaungi
dirinya sendiri, ada yang datang menggunakan sepeda motor dan jas hujannya yang
beterbangan, ada juga yang diantarkan oleh ayah atau ibunya seperti anak Sd. Bahkan
yang paling mewah adalah mereka yang diantarkan menggunakan kendaraan roda
empat. kendaraan itu tiba-tiba saja membludak jumlahnya dan berjejer rapi.
Memenuhi parkiran saja!
Mataku liar memperhatikan mereka.
Memperhatikan teman-teman seperjuangan selama tiga tahun. Tetapi genap bulan
depan, kami akan mengahadapi UAN, kemudian kami berpisah. Sedih!
Lantas
mataku masih saja liar. Semakin liar sekarang. Yang aku inginkan belum juga aku
dapatkan. Yang aku rindukan belum juga aku temukan. Aku melirik jam tangan
kecil pemberian ibuku, waktu sudah mendekati pukul 07.00. Sebentar lagi
pelajaran pertama akan dimulai. Tidak! Tidak mungkin kelas akan dimulai ketika para siswa masih berkeliaran diluaran
sana menghindari si hujan sialan.
Dapat! Aku melihatnya. Aku lihat
wujudnya. Syukurlah. Aku pikir dia tidak akan masuk pagi ini. Aku pikir dia akan
menyerah pada air. Basah tidak akan membuat dia meninggal kan?
Senyumku merekah. Lamat-lamat aku
perhatikan dia. Wajahnya masih tertutupi helm. Helm dengan warna kesukaannya.
Ketika aku memperhatikan dengan seksama, teguran teman kelasku membuyarkan
semuanya. Aku menoleh refleks ke arah
suara yang memanggilku. Membalas teguran itu dengan senyum tertahan, kesal!
Aku membalik badan dan mulai mencari
melalui jendela yang berjejer didinding kelas. Dia menghilang. Berbaur bersama
siswa berbaju putih-abu lainnya.
“Sial!” Kutukku.
Bukankah
aku menunggunya sedari tadi. Lama sekali.
Kelapaku
liar sekarang. Mengarah kesana kemari untuk sekedar melihat helmnya. Mungkin
bisa tertangka oleh tubuhku yang tingginya tertunda ini.
Dapat
lagi. Dia belok menuju kelasnya, kemudian hilang dibalik tembok laboratorium
biologi.
Aku
bergegas meninggalkan tempatku, menerobos teman-teman kelas yang sudah ramai. Bersiap
menangkap sosoknya dari balik pintu.
Belum
juga terlihat. Mungkin dia sedang mengobrol dengan teman lainnya. Mungkin. Sebenarnya
itu mustahil, karena dia tipikal yang cuek. Teramat cuek bahkan.
Aku
menunggu seperti orang bodoh saja dipintu masuk kelas. Teman-temanku terus
memanggil karena kami harus mengaji selama lima belas menit sebelum pelajaran
pertama dimulai. Aku menoleh ke arah mereka. Aku merajuk. Bibirku manyun tiga
centimeter. Aku sedih.
Aku
menoleh lagi kearah kelasnya. Iya. dia muncul. Tetapi sedihku berlipat ganda
sekarang. Dia sedang menggandeng hangat tangan seorang wanita. Mereka saling
membersihkan seragam yang terkena air hujan. Kemudian tertawa renyah. Bermanja-manja
dan salin rangkul. Terlihat sangat bahagia. Aku ingin tahu. Apa yang sedang
mereka bicarakan. Sangat ingin tahu. Hmm..
Aku
tutup al-quran kecil kebanggan yang aku rebut dari teman sebangkuku. Aku
usaikan bacaan kitab suci kami. Aku berdebar sekali hari ini. Rasanya detakan
jantungku berkali-kali lipat hebatnya. Melebihi debaran dikencan pertamaku.
Hari
ini menjelang week end. Sabtu. Hari
pendek yang membahagiakan. Pelajaran terakhir pukul 12.00 Wita ditutup dengan
pelajaran seni budaya. Antusias sekali aku menyambutnya. Harusnya aku antusias.
Harusnya!
Terganggu
sedikit indahnya hari ini. Hujan yang mereda sedari tadi meningalkan sisa-sisa
udara yang dingin. Sepertinya ada pelangi diluar. Peduli apa? Pun aku tidak
bisa memandangi keindahan Tuhan itu. terhalang atap kelas, juga sudah tersakiti
pemandangan pagi tadi.
Jam pertama berlalu. Untunglah aku
bisa meredam gundah hatiku dan fokus atas apa yang dijelaskan guruku. Akhir-akhir
ini satu kalimat dari guru itu sangat penting. Maklum. Ujian akan segera
menjemput. Jadi fokus dan paham adalah kunci semuanya. Aku masih memainkan
pensil dan penghapus berbentuk bintang. Aku suka menulis dengan pensil. Jauh
lebih nkmat daripada harus menggunakan pulpen. Aku bisa menghapusnya jika aku
ingin. Tetapi aku tidak bisa menghapus tinta pulpen dengan penghapus. Harus
dengan cairan putih dan encer itu, aku tidak suka. Terlihat kotor sekali.
Terus aku membalik lembaran-lembaran
bukuku usai belajar tadi. Di pertengahan bukuku, ada beberapa jawaban tugas
yang aku sempatkan untuk menuliskannya seusai shalat subuh. Berharap dia akn
menyukain kejutan kecil ini. Aku hanya tidak ingin dia tergesa-gesa dalam
menyalin tugasnya. Sudah aku siapkan. Dan pukul 12.00 Wita nanti. Aku akan
menyerahkannya. Tepatnya dia yang akan menghampiriku ke kelas. Bagaimana tidak
aku begitu bahagia dan berdebar. 2 tahun menjadi bisu dihadapannya adalah hal
paling menyiksa yang pernah aku rasakan.
Aku urungkan niat bersantai di
kantin bersama teman-teman. Aku menunggu teramat tegang sekaragg. Sudah pukul
11.30 Wita. Dari depan kelasku, aku melihat jelas sosoknya. Sedang asyik
bercengkrama dengan temannya tadinya pagi. Kenapa? Kenapa harus saling
membahagiakan sepeti itu? kenapa tertawa begitu asyik.
Terlalu
bahagiakah kau bersama dia? Gerutuku
Mereka
berjalan ke arahku sekarang. Harus melewati lapangan nan hijau tentunya. Karena
kelasku berada paling depan dan kelasku berada di sudut sekolah. Bergetar aku.
Benar-benar bingung. Apa yang akan aku katakan pada dia. Apa kalimat pertama untuk
memulai obrolan kami. Apa? Apa? Apa? Dan entahlah. Aku mendongak kemudian menarik
nafas panjang.
Huuuh.. aku hembuskan sembari menggembungkan
pipiku.
Dia
masih berjalan. Lambat sekali. Aku benci!
Haruskah
pamer kemesraan dikhalayak ramai. Haruskah cekikikan sambil teriak histeris.
Dasar para wanita. Kalian mesra sekali. Kalian gak lesbi kan?
Aku masih bersandar pada tiang antar
kelas dengan aroma cat yang masih kental. Sama seperti saat-saat yang dulu.
Beberapa puluhan bulan silam. Masih sama. Di tempat yang sama dan dengan suasana
hati yang sama. Mengkal.
Aku
menunduk. Meredam letupan-letupan kekesalan yang lambat laun mengikis hatiku. Tergerus
oleh tawa dan bahagiamu bersama yang lain.
Menunduk
dan terpejam. Kilas balik semuanya aku nikmati lagi. Terlihat jelas sesosok
gadis dengan perawakan yang kecil dan kurus. Menggunakan seragam putih dan rok
abu yang menyentuh tanah. Rok abu itu basah dibagian bawahnya, setelah menyapu
sisa embun tadi malam.
Wajahnya
manis. Hidungnya mancung. Pipinya yang tirus itu membuat jilbab yang dia
gunakan tidak menjadi prporsional di wajahnya. Matanya juga kecil, namun
tatapannya tajam. Jelas terlihat dia adalah soosk yang manja. Bibirnya kecil. Dia
sering sekali memainkan bibirnya. Menggigit bagian ujungnya. Lalu tersenyum.
Ahh Tuhan. Dia manis sekali
Jemarinya kurus dan ada satu buah cincin melingkar
dijari manisnya.
“itu
pemberian ibu” tuturnya.
Sejak pertama kali dia menegurku,
menghampiriku, kemudian bergantung padaku. Aku ikrarkan dalam hati untuk menjaga
dan membahagiakannya. Entah alasan bodoh apa yang aku pertimbangkan hingga itu
aku cetuskan di cermin kamarku. Berbicara pada diriku sendiri.
Selebihnya segala urusannya menjadi
tanggung jawabku. Aku tak pernah membiarkannya terluka sedikitpun. Menjadi
korban atas sikap cuek yang teramat darinya sudah tidak aku hiraukan. Bagiku
itu tantangan untuk membawanya ke jalan yang lebih baik. Melangkah bersama
menuju kebaikan tentunya.
Hari-hari kami berwarna. Bermain
bulutangkis dipelataran gang sempitpun kami nikmati. Peduli apa kepada mereka
yang bergunjing. Menikmati makanan ringan di samping sumur juga sudah kami
lakukan. Hal aneh dan menyenangkan. Masih tergambar jelas di fikiranku. Masih
tergores basah dihatiku.
Sayang beribu sayang. Merpati itu
ingin terbang dan meninggalkan sarangnya. Dia terjamah yang lain. Lantas pergi
perlahan meninggalkan jejak kepedihan, dihatiku. Aku dihilangkan dari daftar
kunjungan tempat hiburannya juga dari daftar cerita hariannya. Nelangsa sendiri
aku disudut kamar, tempat ternyamanku. Menangisinya. Merindukannya lantas
berbicara pada dinding kamarku. Aku goyah. Aku kalah pada keadaan sepele ini.
Maafkan aku. Aku teramat menyayangimu. Bisakah menoleh sebentar saja ke arahku.
Sebentar saja. Sebelum kau benar-benar tidak bisa aku jangkau lagi.
Entah ada yang salah dari caraku memperlakukannya.
Atau ada yang berlebihan dari caraku mengkhawatirkannya. Entahlah. Aku hanya
rindu dia. Rindu sekali. Nafasku tersengal jika harus mengingatnya. Aku rindu. Aku
ingin memelukmu. Merasakan lagi irama perut naik turunnya ketika menangis.
Mengusap lagi air matanya ketika dia terisak. Aku ingin memeluknya lagi.
Menggenggam erat jarinya agar tak berjalan beriringan bersama yang lain. Aku rindu
segala tentang dia. Aku rindu. Rindu sekali.
“hei
Tania” suara itu mengagetkanku.
Eh
iya…
“Aku
mengangkat wajahku lalu memandangnya. Lekat sekali. Ternyata bisa ya sedekat
ini lagi” bisikku dalam hati.
Dia
dihadapanku sekarang.
Aku sodorkan selebaran jawaban yang
sudah aku persiapkan. Kaku. Tanganku gemetaran. Sial! Ada apa denganku.
Sedangkal inikah caraku mengontrol keadaan. Bukankah dua tahun aku terbiasa
mengatasinya sendiri. Sendiri tanpa pernah dia ketahui.
Dia mengambilnya dengan cepat. Rasa
tidak percayanya membuatnya tersenyum lebar. Merekah sekali. Seperti mawar
merah yang sedang bermekaran. Selalu begitu. Selalu ekspresi wajah yang sama.
Seperti saat-saat dulu aku memberikan kejutan kecil untuknya. Senyum bahagia.
Aku menikmatinya. Aku tatap lagi
wajah mungilnya. Sebetar lagi akan berpisah dan entah kapan akan bertemu lagi.
Jangan. Jangan usaikan senyum itu. biakan aku menikmatinya. Untuk bekalku untuk
waktu yang belum bisa aku tentukan.
Dia izin kembali ke kelasnya karena
sebentar lagi guru kami akan datang. Aku mengangguk pertanda mengiyakan. Hanya
satu kali kata terima kasih yang dia lontarkan. Aku tersenyum. Tak mengapa. Andaikan dia tahu.
Tanpa berterima kasihpun, aku rela lakukan apapun untukmu.
Cukup
dalam hati aku bergumam.
Dia
berjalan meninggalkanku. Aku memandangi punggung itu. punggungnya dan juga
punggung sahabat barunya. Jika pantas aku berbuat, Ingin rasanya berlari
sekencang yang kubisa, lalu menubruknya dan memeluknya memeluknya dengan sangat
erat meskipun dari belakang.
Tetapi
entahlah..
Mungkin
aku ditolak. Mungkin.
Biarlah.
biarkan hanya bayangnya yang mampu ku peluk. Biarlah. Aku terima. Demi
kebahagiaannya.
Comments
Post a Comment