RESENSI FILM - MEDIA - KORAN 67





“TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK”
Oleh: Ria Rizky Rahmalia



Judul Film                  : Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Sutradara                    : Sunil Soraya
Genre                         : Roman
Pemain                       : Herjunot Ali, reza Rahadian, Pevita Pearce, Jajang C. Noer, Ninik     L. Karim
Penulis Asli                : Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka)

Zainudin, seorang pria  yang baik hatinya, mataanya  tak berkedip menatap bunga desa yang ayu parasnya, bertudung, berpakaian tertutup, lembut bicaranya,  dan juga tulus hatinya. Demi wanita ini, Zainudin rela meminjamkan payung miliknya untuk digunakan oleh si wanita agar segera pulang sebelum larut malam. Dialah permata Zainudin; Hayati.  
Film dengan genre romance ini adalah film yang syarat akan etnik dengan mengangkat kebudayaan Minang dengan nuansa era tahun 1930-an yang lengkap dengan gaya bahasa dan pakaian pernikahan tradisional Minang.
Adalah  Zainudin dan Hayati, sepasang kekasi yang tidak direstui cintanya karena terhalang adat istiadat. Zainudin adalah pria  berdarah Minang-Bugis yang berniat belajar agama di negeri ayahnya di Batipuh. Tidak disangka di sana Zainudin bertemu dengan gadis cantik bernama Hayati yang jelita, bunga desa dan keturunan keluarga yang memegang teguh adat-istiadat Minang Kabau, sedangkan Zainudin merupaka perantau –yatim piatu – yang tidak jelas status sukunya.
Kedekatan Hayati dan Zainudin semakin terlihat, berkirim surat dan mengobrol di tempat umum meruaakan wujud kedekatan mereka. Karena kedekatan tersebut sudah meneybar di amsyarakat, keluarga hayati resah akan berita kedekatan antara keduanya. Geramlah pihak keluarga Hayati dan mereka memutuskan untuk mengusir Zainudin dari Batipuh menuju Padang Pandjang.
Disaksikan oleh lautan, Hayati menangisi kepergian Zainudin. Di depan Zainudin, Hayati berjanji dan bersumpah akan menunggu Zainudin kembali kemudian mereka akan merajut kasih cinta sebagai suami-istri. Cinta yang bersemi diantara mereka harus terpisah secara paksa, maka Hayati memberikan selendangnya kepada Zainudin untuk dibawa pergi menuntut ilmu agama dan sebagai kenang-kenangan untuk kekasihnya.
Cinta kedua insan ini tidak semulus yang mereka impikan. Datanglah lamaran dari Aziz; keluarag terpandang dan kaya raya dari Padang Pandjang. Terpikat harta dan juga status suku yang jelas, diterimanyalah lamaran keluarga Aziz oleh keluarga Hayati. Kemudian, menikahlah Hayati dengan Aziz setelah surat penolakan lamaran dikirimkan untuk Zainudin.
Terkejut dengan itu, jatuh sakitlah Zainudin. Meranalah dia ditinggalkan kekasaih hatinya yang ia rindukan sejak lama. Tidak ingin terpuruk terlalu lama, berangkatlah Zainudin menadu nasib ke Jakarta bersama sahabantnya, Muluk.
Fortuna menaungi Zainudin dan Muluk. Melalui kecakapannya dalam menulis dan bersyair, terbitlah buku-buku yang luar biasa digemari oleh banyak orang. Semakin menanjak karir Zainudin dalam bidang menulis, menjadi pemimpnlah Zainudin pada sebuah media di Surabaya. Mashyur dan kaya rayalah Zainudin si yatim piatu.
Tentang pernikahan Aziz-Hayati yang tidak didasari atas cinta, diceraikannya Hayati oleh Aziz. Aziz yang ternyata adalah penjudi handal dan sering main wanita akhirnya jatuh bangkrut. Hutang dimana-mana, pekerjaan tidak ada, dan harta yang dimilikinya habis digunakan untuk melunasi hutang. Saat terpuruk seperti ini, Aziz mendatangi Zainudin yang saat itu menggelar pentas atas bukunya yang terkenal “TEROESIR” di Surabaya, bertatap mukalah ketiga orang yang pernah berseteru ini.
Selepas pertemuan tersebut, Aziz meminta tolong kepada Zainudin untuk membantu segala kesusahannya dan menumpang di rumah Zainudin. Jatuh sakit dan bunuh dirilah Aziz karena tidak kuat menaggung beban hidup. Karena Aziz mengetahui bahwa Zainudin dan Hayati memiliki cinta yang masih sama seperti dahulu, maka Aziz mengmbalikan Hayati kepada Zainudin yang dia utarakan pada sepucuk surat talak cerai.    
Sekian lama berselang sepeninggal Aziz, Zainudin meminta Hayati untuk kembali ke tanah Minang, karena Hayati adalah Janda dari temannya dan Hayati bukan lagi cintanya yang dia dambakan dulu. Zainudin terlalu kecewa atas pilihan yang diambil oleh Hayati saat itu dengan meenrima lamaran Aziz.  
Kapal van der wijck adalah kapal yang akan membawa Hayati kembali ke kampung halamannya. Firasat buruk dirasakan oleh Hayati ketika akan menapaki tangga pertama kapal besar buatan Belanda tersebut. Tetapi bagaimanapun keadannya, Hayati tetap berlayar dan kembali ke kampng halamannya. Ditengah perjalanan, kapal Vanderwijck tenggelam, penumpan Van der Wijck tenggelam di lautan luas, termasuk Hayati yang tenggelam sembari memegang foto kekasihnya; Zainudin.
Membaca pemberitaan pada koran tentang tenggelanya kapal yang ditumpangi Hayati, Zainudin bergegas mencari Hayati di rumah sakit. Akhirnya Zainudin menemukan Hayati yang sedang sekarat,. Keduanya menangis tersedu, dan menyatakan perasaan cinta yang ternyata masih sama-sama membara.  
Karena kemungkinan hidup Hayati sangat kecil, Hayati pun meninggal setelah dituntun oleh Zainudin melafazkan ayat suci. Semenjak kepergian Hayati, Zainudin tetap melajang dan membuat sebuah buku yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck.
Terlepas dari kisah cinta yang haru, adat yang kental, dan penggunaan bahasa daerah, film ini juga menggambarkan teguhnya pendirian seorang pria mengenai cinta, prinsip hidup, dan kebaikan hati. Jika pilihannya sudah ditentukan, maka ia akan berpegang teguh dan konsisten untuk menjalaninya. Tokoh Zainudin memberikan contoh bagaimana sebuah kesuksesan tersebut didapatkan dari usaha yang giat, tetap rendah hati meskipun ia sudah menajdi terkenal karena karyanya, dan tetap berbuat baik kepada orang-orang yang telah berbuat jahat kepadanya dulu.
Film ini menyajikan penggunaan logat bahasa yang berbeda antara tokoh utama –Zainudin dan Hayati-. Zainudin yang diperankan oleh Herjunot Ali ketika berbicara terdengar lucu meskipun sedang memainkan adegan yang sedih.
Film ini juga  mudah dipahami dan tidak mengandung unsur sara. Dapat disaksikan oleh semua kalangan umur, selain dapat menambah penegtahuan dengan menegtahui cara bicara masyarakat Minang, penonton juga disuguhi dengan nuansa era 1930-an seperti bahasa penulisan, pakaian, kenampakan alam, dan adat istiadat.


Comments

Popular Posts